TIDAKKAH kau ingin datang ke negeriku, negeri daun? Selembar negeri berwarna hijau. Bertengger pada seutas dahan. Selalu keras di siang hari, dan basah oleh embun di kala malam. Angin kerapkali membuatnya berkesiur seperti penari streaptease yang sedang trance.
Pada lembar-lembar daun inilah orang-orang berlomba-lomba membangun negeri. Mereka mendirikan rumah maksiat, pabrik senjata dan peluru, kondomonium, parlemen, penjara, dll. Juga, pada permukaan selembar daun yang berwarna hijau inilah ratusan orang dibantai secara massal.
Tidakkah kau ingin tinggal di negeri seperti itu?
Dulu, semasa kecil, aku mengenal negeriku negeri terompah. Menopang telapak kaki, dan melaju seperti perahu (perahu Nabi Nuh?). Tapi, ketika tahu bahwa terompah menimbulkan bunyi berisik, maka aku tidak suka lagi padanya. “Jijik… Bikin gatal telinga!” Selepas akil baliq aku mengenal negeri daun.
Mulanya terbersit bahwa negeriku adalah dedaunan pohon sukun yang menyerupai jari-jemari vampir, atau daun pohon gayam yang tebal dan tidak mudah robek, meski di situlah segala jenis gondoruwo bersemayam.
Akhirnya aku betul-betul yakin bahwa negeriku adalah daun pohon manecu; terdiri atas warna hijau dan coklat, dan sisi bagian bawah bersinar keperak-perakan di kala matahari condong ke barat.
Dunia buku-lah yang kemudian menanamkan pengetahuan padaku, bahwa sebenarnya negeriku adalah negeri daun apa saja, dari sebuah pohon yang tumbuh di mana saja. Dan tentunya juga daun dalam bentuk apa saja; oval, jarum, dan bundar.
Tentu saja, negeriku bukanlah negerimu. Di sini tak mengenal musim gugur, yang dalam sekejap menelanjangkan semua batang-batang pohon. Daun-daun tak pernah rontok, kecuali tiba saatnya menguning, mengering. Pernahkah kau melihat iring-iringan jenazah menuju kuburan? Seperti itulah proses luruhnya negeriku ke bumi. Namun, setelah itu, selalu membiak kelopak-kelopak baru; merona, dan merona lagi. Ulat? Tentu saja ada…
Tapi jangan kau risaukan itu. Terompah saja akan aus jika terus-menerus digosok-gosokkan di bebatuan. Jangankan terompah atau daun, rantai-rantai tank pun akan tercerai-berai bila terus-terusan digilaskan pada tubuh pembangkang!
Hanya ulat, mudah saja membasminya.
Datanglah ke negeriku, negeri daun! Kau pasti suka.
***
YA, Tuhan, mengapa daun-daun ganja tumbuh di halaman rumahku? Siapakah yang menanamnya? Demikian cepatnya ia mekar–bahkan di antaranya layu diperam angin–Padahal malam tadi, ketika aku memulai tidur untuk sebuah mimpi buruk, halaman rumahku masih lebat oleh tanaman buah-buahan.
Ganja, dan ganja, siapakah yang usil menanam di sebuah rumah yang hanya penuh oleh buku-buku? Siapa pula yang tega membinasakan tanaman vanili, sawo, pisang, manggis, duku, salak, sirsak, alpukat, kecapi, jambu mete dan pepaya dengan ladang ganja? Siapa gerangan?
Sekumpulan rumpun ganja, di dekat sumur, huyung ke barat. Porak-poranda tak karuan. Angin atau sepatu serdadu yang menginjak-injak? Tidak, mungkin sekawanan pemburu telah mengoyaknya: mereka mabuk karena malu pulang tanpa bangkai di pundak!
Ah, ini hanya ilusiku saja… (Maaf, sejak peristiwa pembantaian ulat-ulat untuk pesta sagu di pertengahan 1960-an itu aku terserang paranoid. Entah mengapa. “Kamu terjangkit schizophrenia. Terapi satu-satunya adalah hipnosis. Silakan menyerahkan jiwa Anda yang rusak untuk kuhipnotis lewat pijar api sebatang lilin!” teriak seseorang di dalam klinik, entah di mana.
Ternyata bukan lilin. Sebab, dua orang langsung menyekapku dan menyungkup kepalaku dengan karung goni. Tindak-tanduknya kasar. Mereka mengikatku di kursi. “Jangan meronta, ini terapi. Turuti anjuran kami!” Hening. Nyaris tak terdengar suara apa-apa.
Salah seorang kemudian berkata lambat-lambat, “Sekarang bayangkan kamu sedang berada di hutan belantara. Pohon-pohonnya ranggas, persis lonjoran besi-besi berkarat. Malam hari. Bulan bersinar penuh. Tiba-tiba sekumpulan orang mengerumunimu. Bahasanya bahasa Tetun. Sontak mereka lari tunggang-langgang demi didengarnya bunyi kemerisik nun di kejauhan. Kamu diam terlongo-longo. Saat itulah puluhan senapan menuding ke dahimu. Kamu dihantam, ditendang, diinjak-injak, dan dilempar ke truk. Dalam keadaan sekarat kamu mendengar, ‘Congkel saja mata separatis satu ini, gorok lehernya, lalu buang ke jurang!’ Bayangkan semua itu secara detil… Ingat, ini bagian dari terapi.”
Dan aku disuruh membayangkan berkali-kali. Terus-menerus. Bahkan di setiap kesempatan. Bangun atau hendak tidur, makan, mandi, berak, bepergian, dll. aku harus membayangkan. Sampai akhirnya semua mimpiku berkisah tentang penganiayaan di hutan belantara itu. Maaf kalau ceritaku agak nglantur, tapi aku merasa perlu memberitahukan hal ini padamu).
Datanglah ke negeriku, negeri daun. Kau pasti suka tinggal di sini. Tidur-tiduran di serat-seratnya pun boleh, atau ingin menyusup di pori-pori mengikuti peristiwa pembakaran hingga kau dapat menyaksikan bobroknya dapur akar-karan.
Lantas, ketika badai datang menghujat, kau boleh melakukan apa saja: “Bukankah pohon hanya mengenal hukum pembiakan dan pengguguran?”
***
DATANGLAH ke negeriku, negeri daun!
Pasti kau akan suka tinggal berlama-lama di negeriku. Sambil berbaringan disemai angin, kita saling bertukar dongeng. Mula-mula kuceritakan padamu tentang seorang patih, dari sebuah kerajaan mahaperkasa. Wajahnya lebar dan kukuh badannya. Di setiap pengembaraan dia selalu memetik daun-daun, dan dirangkainya menjadi selendang. Suatu hari, datanglah seorang bidadari, merayunya agar ia memberikan selendang itu padanya.
”Jikalau aku tahu bahwa selendang itu untuk mas kawin pernikahannya dengan seorang pria yang berkubang di kali, pasti tak akan kuserahkan.” Menyadari kekeliruannya, menangislah patih itu sepanjang hari. Hingga akhirnya dia mati, dengan tetap menanggung sesal tiada akhir.
Kamu lalu bercerita: Dahulu kala Dewi Isis menyembah kemaluan Dewa Osiris … Belum tuntas cerita itu, kamu pun tertawa terbahak-bahak. Badanmu terguncang-guncang. Air meleleh dari matamu. Ya, ampun, kamu orgasme! Hingga tak terasa daun tempat kita berbaring kisruh tak karuan, dan kita menggelinding jatuh ke tanah.
Ah, itu hanya ilusiku saja… (Maaf, pada awal-awal tahun 70-an banyak orang menunjuk aku dengan hidungnya, lalu berbisik pada yang lain, “Kasihan. Gara-gara orang tuanya terlibat dia menjadi gila!” Sekarang tidak lagi kudengar bisikan seperti itu. Mungkin semua orang sudah mafhum. Dan aku juga sadar, bahwa pada dasarnya aku memang gila).
Sekali-sekali datanglah ke negeriku, negeri daun! (*)
Cerpen ini pernah dimuat di Jawa Pos, 12 September 1999.
LERES BUDI SANTOSO – Lahir di Surabaya, 1969. Selain menulis puisi juga cerpen (berbahasa Indonesia dan Jawa) dan cerita anak-anak. Karyanya dimuat di banyak media massa cetak (di antaranya majalah sastra Horison) dan buku antologi bersama. Cerpennya berjudul Dialog Malam (dimuat di Suara Indonesia) terpilih sebagai juara III lomba cerpen Dewan Kesenian Surabaya, 1990. Diundang Dewan Kesenian Jakarta pada Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki (1996). Tahun 1997 cerpennya berjudul Toh di Pipi Bunda juara I sayembara penulisan cerpen tabloid Nyata (juri tunggal Budi Darma). Buku kumpulan cerpennya berjudul Negeri Daun. Sehari-hari bekerja menjadi jurnalis. (*)
Redaksi lombokraya.com menerima kiriman karya cerpen, puisi dan esai sastra. Kirimkan ke email: redaksilombokraya@gmail.com. Ruang sastra lombokraya.com tayang dua kali sepekan, yaitu hari Minggu dan Rabu (khusus karya pelajar Nusa Tenggara Barat). Untuk sementara karya yang dimuat belum ada imbalan honorarium.