Oleh Rissa Churria
Ketika Mira, Arya, dan Nara naik lebih tinggi di dalam Menara Hitam, suasana semakin mencekam. Udara terasa lebih berat, dan dinginnya menembus hingga ke tulang. Setiap langkah mereka seolah diiringi oleh suara gemuruh samar yang terdengar jauh di atas mereka. Cahaya dari peta Mira mulai meredup, seakan kehabisan tenaga untuk melawan kegelapan yang semakin pekat.
“Kenapa rasanya semakin sulit bernapas di sini?” Nara bertanya dengan suara yang lemah, tangannya gemetar.
Bertahanlah, Nara. Kita sudah sejauh ini. Kita harus sampai ke puncak.” Arya menepuk pundaknya.
Namun, Mira merasa ada sesuatu yang salah. Bukan hanya atmosfer menara yang menekan, tetapi juga perasaan aneh yang terus menghantui mereka sejak Penjaga Menara menghilang. Seakan ada sesuatu—atau seseorang—yang terus mengawasi setiap langkah mereka.
Setelah menaiki tangga batu yang berkelok-kelok, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang gelap. Langit-langitnya begitu tinggi, hingga hampir tak terlihat dalam bayangan. Di tengah ruangan, ada pintu besar yang terbuat dari batu hitam. Di atasnya terukir lambang yang aneh: sebuah mata besar yang terbelah menjadi dua. Cahaya di sekitar pintu itu terasa dingin, berwarna kebiruan, dan mengisyaratkan bahwa di baliknya ada sesuatu yang sangat kuat.
“Kita harus membukanya,” kata Mira, meskipun hatinya diliputi keraguan.
Namun, saat mereka mendekati pintu, sebuah suara berbisik di udara, suara yang begitu halus tetapi juga mengerikan.
“Kalian… tidak seharusnya di sini ….”
Siapa itu?” Arya langsung mengangkat pedangnya, siaga penuh.
Tidak ada yang menjawab, tetapi ruangan itu tiba-tiba dipenuhi oleh bayangan-bayangan gelap yang muncul dari dinding-dinding. Mereka berbentuk manusia, tetapi tubuh mereka tembus pandang dan bergerak tanpa suara. Mata mereka berwarna merah menyala, menatap dengan dingin dan haus akan kejahatan.
Apa itu?!” Nara melangkah mundur, menelan ludah dengan gugup.
“Mereka adalah bayangan … roh terkutuk dari penyihir yang pernah menghuni menara ini. Kita harus segera membuka pintu itu, atau mereka akan menghancurkan kita.” Mira mencoba menenangkan dirinya, tetapi rasa takut mulai merayap.
Tanpa berpikir panjang, Arya berlari ke pintu besar, mencoba mendorongnya dengan seluruh tenaganya, tapi pintu itu tak bergerak sedikit pun.
“Ini terkunci!”
Bayangan-bayangan itu semakin mendekat, suara langkah kaki mereka seperti bisikan angin yang menyeramkan. Mereka mengepung ketiga saudara itu, membuat mereka tidak punya jalan keluar.
“Apa yang harus kita lakukan? Mereka akan menangkap kita!” Nara berlari ke arah Mira, menggenggam erat tangannya.
Mira menggenggam peta erat-erat, berharap ada petunjuk lain. Tiba-tiba, peta itu bersinar kembali, tetapi kali ini cahayanya jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Cahaya itu menyorot langsung ke pintu batu, dan dari bawah pintu, sebuah kunci kecil muncul dari lantai, berkilauan seperti dibuat dari cahaya murni.
“Itu kuncinya!” seru Mira, dan tanpa ragu dia mengambil kunci tersebut.
Arya yang berada paling dekat dengan pintu langsung memasukkan kunci ke dalam lubang kunci yang tersembunyi. Dengan satu putaran, pintu itu mulai terbuka perlahan, meskipun suara deritan batu yang bergerak membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Namun, ketika pintu terbuka, sesuatu yang mengerikan terjadi. Bayangan-bayangan yang sebelumnya bergerak perlahan, kini menjadi lebih cepat dan agresif. Mereka menyerang dengan kecepatan yang luar biasa, mencoba meraih Mira, Arya, dan Nara dengan tangan mereka yang dingin seperti es.
Arya mengayunkan pedangnya, menebas bayangan-bayangan itu, tetapi pedangnya hanya menembus udara kosong.
“Mereka tidak bisa disentuh!”
“Mira, tolong!” Nara, yang paling kecil, mulai panik. Dia melompat ke belakang Mira, bersembunyi di balik punggung kakaknya.
Mira tidak punya banyak waktu. Dia tahu bayangan-bayangan itu hanya akan semakin kuat jika mereka tetap di sini terlalu lama.
“Kita harus masuk ke balik pintu! Itu satu-satunya cara!” tegasnya.
Mereka bertiga segera melarikan diri ke dalam ruangan di balik pintu batu itu, meninggalkan bayangan-bayangan yang mencoba mengejar mereka. Begitu mereka berada di dalam, pintu besar itu tertutup dengan keras, memblokir bayangan-bayangan tersebut. Ruangan yang mereka masuki terasa jauh lebih aman, meskipun kegelapan masih mengintai di sudut-sudutnya.
Namun, sebelum mereka bisa merasa lega, sebuah suara lain menggema di dalam ruangan itu. Suara itu rendah dan berat, seperti suara seseorang yang sangat tua namun penuh dengan kebijaksanaan gelap.
“Akhirnya, kalian sampai di sini,” kata suara itu.
“Tapi kalian tidak akan menemukan apa yang kalian cari tanpa terlebih dahulu menghadapi diriku.” lanjutnya.
Dari kegelapan di ujung ruangan, muncul sesosok makhluk besar. Dia adalah Penjaga Puncak, seorang penyihir dengan jubah hitam panjang, wajahnya tertutup topeng tengkorak. Di tangannya ada tongkat yang mengeluarkan cahaya ungu redup.
Arya langsung siap bertarung, tetapi kali ini Mira menahannya. “Jangan gegabah. Ini bukan makhluk biasa.”
“Kalian telah melawan Penjaga Menara, tapi aku jauh lebih kuat. Satu langkah salah, dan kalian akan terjebak di sini selamanya.” Penjaga Puncak melangkah maju, dan setiap langkahnya mengguncang ruangan.
Arya tidak tahan lagi. Dia maju dengan pedang terhunus, mencoba menyerang Penjaga Puncak. Namun, sebelum pedangnya mencapai sasarannya, penyihir itu melambaikan tongkatnya, dan Arya terhempas ke belakang, menabrak dinding dengan keras.
“Arya!” Mira menjerit.
“Kakak, apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa mengalahkannya.” Nara mendekati kakaknya yang mencoba untuk bangkit dengan mata berlinang.
Mira memikirkan sesuatu dengan cepat. Peta itu telah menuntun mereka ke sini, jadi pasti ada petunjuk lain. Dia mengeluarkan peta tersebut, mencoba mencari sinyal baru. Kali ini, peta itu tidak bercahaya, tetapi menunjukkan gambar aneh—sebuah simbol kuno yang berada di bawah ruangan.
“Kita harus memecahkan simbol ini,” gumam Mira.
Sementara Penjaga Puncak terus mendekat, Mira segera menyadari bahwa simbol itu adalah kunci untuk mengalahkan penyihir. Dia berlari ke tengah ruangan, menempelkan peta di lantai, tepat di atas simbol yang digambarkan di peta.
Cahaya dari peta itu akhirnya kembali bersinar, memancarkan lingkaran sihir di lantai. Penjaga Puncak berhenti sejenak, menyadari apa yang Mira coba lakukan.
“Kau berani melawan kekuatanku dengan trik kecil itu?” suaranya marah.
Tapi Mira tidak berhenti. Dia terus memfokuskan energinya pada peta. Simbol di lantai mulai berpendar, dan perlahan, Penjaga Puncak mulai melemah. Tongkat di tangannya bergetar, seolah-olah kehilangan kekuatannya.
“Kalian tidak bisa menang!” teriak Penjaga Puncak. Tapi semakin dia berusaha melawan, semakin lingkaran sihir itu menghancurkannya.
Akhirnya, dengan kilatan cahaya yang terang, Penjaga Puncak lenyap. Ruangan itu menjadi tenang, dan lingkaran sihir di lantai menghilang.
Ketiga saudara itu berdiri di tengah ruangan, terengah-engah. Mereka tahu bahwa ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Tapi untuk saat ini, mereka berhasil mengalahkan ancaman lain dari Menara Hitam.
“Kita tidak boleh berhenti,” kata Mira, mengatur napasnya.
“Masih ada rahasia lain yang harus kita ungkap.” Lanjutnya dengan raut wajah tegang.
Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka, tetapi perasaan bahwa ancaman yang lebih besar masih menanti di puncak menara tak pernah hilang.(*)
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.