Medan Psiko-emosional; Kesenian Musik Tradisional Cilokaq Harus Dikenal Dunia

Salah satu grup musik cilokaq Sasak (foto: Suara NTB)

 

Lahir dengan selamat, lalu menikmati masa kecil hingga kemudian tumbuh besar di Lombok sudah sedemikian jelas bagi saya untuk menegaskan bahwa saya sudah sangat dekat dengan alunan musik Cilokaq yang diputar setiap harinya.

Melewatinya dengan beberapa kali masa produksi, mulai dari era produksinya yang berupa kaset pita analog, VCD, DVD hingga yang terkini masih dapat menemukan publikasi karyanya di era digital.

Sungguh ini adalah bekal yang cukup berharga dalam hidup saya untuk memutuskan tenggelam dalam upaya mencintai kesenian musik ini dengan cukup intens.

Saya besar di rumah yang secara kebetulan membuka toko elektronik dan menjual barang-barang yang terkait dengannya membuat saya sangat terbiasa mendengar alunan musik ini. Kehidupan batin saya yang terpapar dengan ribuan tembang tengah terpelihara dengan baik.

Musik ini memunculkan lanskap suara yang mempresentasikan dominasi kesedihan yang diunggulkan dari masa ke masa. Menjadikanya sebagai simbol agar kesenian ini menjadi sangat mudah teridentifikasi.

Kesenian musik cilokaq adalah hubungan kuno, komposisi musiknya sudah secara terang benderang memasukkan unsur musik Chines, melodi vokal melayu, ritmis dangdut dan juga petikan gambus berirama padang pasir yang disatukan menjadi perpaduan yang utuh.

Tetapi persisnya, dalam istilah lain jika dianalisis dari bagaimana musik ini menggabungkan pelbagai unsur musik dan instrumen yang digunakan, kesenian ini dapat disebut sebagai musik hybrid. Layaknya musik campursari kalau di Jawa.

Meski demikian saya tetap dapat menemukan setidaknya satu unsur yang paling menggambarkan ke-Sasakan dalam kesenian musik cilokaq, yakni penggunaan liriknya yang merupakan sastra kuno yang dimiliki masyarakat Sasak.

Kesusasteraan kuno yang saya maksud di sini berupa pantun, yang dalam istilah Sasaknya disebut lelakaq dan kayaq. Keterpaduan sastra kuno Sasak dengan iringan musik tradisional cilokaq ini sudah ada sejak ratusan tahun silam.

Saya bahkan menemukan penjelasan yang cukup terang bahwa ternyata kesenian cilokaq diciptakan untuk menghadirkan ambang batas kesedihan yang mendalam. Sebuah zona yang sangat lazim dijumpai di tengah kehidupan masyarakat Sasak selama berabad abad lamanya. Dimensi musik yang penuh misteri, suatu medan psiko-emosional yang diekspresikan pada persoalan-persoalan sekitar seperti ketimpangan sosial, kehilangan, kegagalan dalam berumah tangga, asmara, kematian dan kehadirannya yang sekaligus secara tegas melegitimasi semangat masyarakat pendukungnya untuk merayakan penderitaan mereka adalah bagian terpenting yang melingkupi kesenian musik ini.

Saya pikir beginiah wujud eksistensi dari keberadaan kesenian musik cilokaq selama ini untuk dapat diketahui dan didengarkan. Ada begitu banyak karya yang juga berupaya meluapkan memori kolektif atas derita berkepanjangan yang dirasakan oleh dan dari para pelaku, juga sekaligus penikmatnya dari era kerajaan, era pra kolonial, pascakolonial hingga era dekolonial.

Karya-karya ciptaan lainnya yang tak kalah penting dewasa ini juga akhirnya cukup banyak mengangkat narasi perlawanan masyarakat Sasak untuk ditransformasikan secara epik dan terus menerus. Meski tak juga bisa diabaikan jika narasi kegembiraan, keceriaan dan pengharapan yang otentik juga tengah dimunculkan dalam karya-karya terbarunya, yang belakangan ini sangat mudah ditemukan lewat pelbagai platform musik digital.

Berangkat dari pembacaan yang cukup dalam mengenai kesenian ini, masyarakat Sasak yang secara eksplisit memang pernah berada dalam perjalanan panjangnya mengalami penderitaan sepanjang sejarahnya akibat pendudukan dari kerajaan dan dari bagsa lain. Akhirnya menuntut mereka untuk menciptakan jenis kesenian dengan bentuk seni yang kaya, kreatif dan masih dihargai hingga dewasa ini bagi saya merupakan salah satu bukti, bahwa masyarakat Sasak memiliki persepsi musik dan kognisi yang baik tentang kesenian di bidang sastra dan pelbagai bidang kesenian lain yang dimilikinya.

Sehingga, sejauh yang bisa saya tegaskan, sudah sepatutnya kesenian musik tradisional cilokaq dapat diangkat sebagai salah satu agensi dari produk kebudayaan yang cukup potensial untuk memperkenalkan adat istiadat dan budaya bangsa Sasak yang adhi-luhung ini ke ruang-ruang publik yang lebih luas.

Eksistensinya memang sudah semestinya mendapat tempat dalam banyak agenda penting pemajuan kebudayaan yang dihandle oleh pemerintah, baik pemerintah daerah kabupaten hingga Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Bagi saya, kesenian musik cilokaq, jika dipahami secara lebih intens merupakan musik terapi jiwa, gubahan-gubahan pada lirik lagu dan iringan musiknya yang sedih itu akan benar-benar membawa pendengarnya masuk ke dalam dimensi mistik musik dan bunyi yang berbeda dengan jenis musik tradisional lainnya.

Bagi saya, ini adalah musik yang benar-benar penuh dengan perasaan, yang mampu memengaruhi spektrum kesadaran pendengarnya dan membawa pendengarnya melintasi batas batas dimensi spiritual. Sebuah sikap optimis akan nilai-nilai kebaikan demi terjalinnya hubungan yang harmonis antara manusia, lingkungan dan Tuhannya.

Ini adalah seni kelas dunia yang menggabungkan antara musik dan produktivitas pengetahuan orang-orang Sasak tentang bagaimana akhirnya mereka memiliki musik yang otentik dan teks kesusasteraan terbaik yang lahir dari masa ke masa.

Sastra-sastra lelakaq dan kayaq dalam kesehariannya tengah tersampaikan secara lisan dan tulisan. Kehadirannya sebagai lirik lagu cilokaq, misalnya, tengah mengungkap perasaan luka dan duka yang menempati urutan pertama dalam landskap suara yang menghadirkan kerinduan dan misteri sejarah kehidupan masyarakat Sasak.

Manifestasi pemikiran yang cerdas dari para pencipta musik ini dapat dilihat dari pemilihan diksi dan bagaimana mereka berupaya mengejar rima dalam lelakaq dan kayaq tersebut sebagai lirik lagu cilokaq. Sungguh hal ini sangat mencengangkan bagi saya. Penciptanya jelas memiliki keterampilan dan kecerdasan estetik yang memadai. Persepsi musik dan koginisi yang melatarbelakangi penciptanya juga tampak sangat terang diperlihatkan dan dapat dibaca secara terpisah.

Sebut saja untuk vokalis yang menyanyikannya karya cilokaq ini yang tidak sembarang orang mampu menguasinya. Vokalisnya seolah dituntut memiliki range dan karakter vokal yang tinggi melengking, fasih memainkan cengkok melayu dan yang terpenting si vokalisnya harus mampu mempresentasikan makna lagunya dengan ekspresi sedih. Hal-hal yang demikian itu sangat tekankan agar luapan ekspresi yang dihadirkan si vokalis dapat mengalir dengan natural dan dapat masuk ke medan psiko-emosionalnya.

Bagaimana kesenian ini disajikan?
Dalam perjalan panjang kesenian ini, saya sering mendapati presentasi pertunjukannya yang hanya ditampilkan dengan cukup sederhana. Penampilannya masih bisa dinikmati meski hanya terdiri dari dua orang pemain. Pemain gambus dan seorang vokalis atau bisa sebaliknya, di mana si vokalis sendiri yang langsung sebagai pemain gambusnya. Hal yang demikian adalah penampilan paling sederhana secara bentuk penyajiannya. Sebab permainan musik cilokaq pada umumnya juga dapat dimainkan oleh lima sampai dengan tujuh belas orang.

Beberapa instrumen yang biasa digunakan dalam permainan musik cilokaq tradisional ini antara lain; seperti, jidur, kendang, seruling, piul, rencek, gong dan penting. Sementara untuk penampilan cilokaq modern bisa dilihat dari penggunaan instrumen Barat lainnya seperti frum, guitar elektrik, bass, keyboard bahkan digubah ke musik DJ.

Atau jika kelak akan ditemukan penggunaan instrumen lain dalam penyajiannya selain yang saya sebutkan di atas, tentu saja itu juga masih bisa diterima. Sebab kesenian musik cilokaq sendiri hingga dewasa ini tidak memiliki pakem yang jelas atas instrumen yang digunakan.

Sekalipun, jika ada klaim dari desa tertentu yang melakukan upaya pengklaiman mengenai hal ini, menurut saya juga tidak serta merta akan dapat mengubah persepsi mayoritas masyarakat lainnya.

Lagi pula hingga dewasa ini, kesenian musik cilokaq sendiri sudah sangat identik dengan instrumen gambus sebagai instrumen utama yang tidak bisa tidak dihadirkan, sementara lelakaq dan kayaq adalah sastra kuno yang selalu digunakan sebagai lirik lagunya.

Terakhir, musik tradisional cilokaq akhirnya saya pahami sebagai manifestasi pemikiran masyarakat Sasak yang bertujuan membawa pesan keindahan, kegembiraan, kesedihan dan cinta dari masyarakat Sasak yang tindih dan patuh pada prinsip kesederhanaan, ketulusan dan keikhlasan dari dan untuk hidup dan kehidupan mereka.

Pesan dan perasaan perasaan yang tersirat ini tidak hanya bersifat kedaerahan semata. Penampilan dan perwujudannya tentu saja lebih dari itu, peristiwa dan perasaannya itu jelas bersifat universal. Sebuah jati diri yang patut diketahui oleh masyarakat dunia.

Sejak melodinya yang merangsak masuk ke telinga saya, sejak segala kemungkinan dari masa lampau itu seakan memaksa pikiran saya untuk terus bertanya tentang pelbagai alasan di balik penciptaanya, motivasinya hingga semangat para pelaku dan penikmatnya yang hingga dewasa ini banyak yang menjadikannya sebagai media terapi kejiwaan secara mandiri. Yang diyakini sebagai obat penyehat hati, penenang jiwa dan sebagai obat anti depresan yang efektif setelah seharian bekerja di sawah, kebun, laut, kantor, sekolah, pasar atau bagi sebagian dari mereka yang sedang berada di perantauan.

Demikianlah kesenian musik tradisional cilokaq ini ada untuk dikenalkan ke telinga masyakat dunia. Saya juga patut bersyukur bahwa masih banyak para generasi millenial Sasak yang memilih tetap mencintai kesenian musik ini. Tabik Walar.(*)

 


Yuspianal Imtihan, M.Sn lahir di Kelayu pada tanggal 13 April. Aktif sebagai dosen seni di Universitas Hamzanwadi. Kini sedang menempuh studi S3 di ISI Yogyakarta. Di luar kampus, ia juga aktif sebagai pegiat seni pertunjukan, penulis lagu, naskah teater, esai seni, juga menjadi seorang solois di Lombok Timur. Karya-karyanya sudah di muat dibeberapa media online dan platform digital.

Related posts