Harga Sebuah Kehilangan

"Penantian", karya Amang Rahman Jubair.

Oleh Bulan Nurguna

BERAPA  harga yang harus dibayar seseorang untuk sebuah harapan kesembuhan? Berapa harga yang harus dibayar untuk menemani seseorang dari sejak mengembuskan napas terakhir sampai ke liang lahat? Mungkin kita bisa belajar memperkirakan dan lalu dengan persis menghitungnya setelah membaca “Esok Hari”¹ karya Lu Hsun.

Diceritakan seorang ibu, bernama Istri Shan Keempat, yang hidup dengan anak satu-satunya bernama Pao-erh yang berusia tiga tahun. Suatu hari Pao-erh sakit dan membuat ibunya harus ke kelenteng untuk “mengundi nasib”. Tidak sampai di sana, karena keadaannya memburuk, ia akhirnya terpaksa harus membawa anaknya ke seorang dokter.

Cerpen ini dibuka dan ditutup di sebuah bangunan kedai minuman bernama Kedai Minum Kemakmuran. Cerita dibuka dengan Kung si hidung merah, Ah-wu, dan beberapa orang lain yang sedang mabuk-mabukan dan cerita diakhiri dengan situasi kedai yang sudah ditutup, orang-orang yang sudah pulang dari sana, dan keadaan tempat tersebut serta lingkungan di sekitarnya yang sunyi. Suasana yang berkebalikan berfungsi sebagai penegas bahwa telah terjadi sesuatu yang besar di antara dua kejadian itu. Ini teknik yang baik, mengingat bahwa cerita menggunakan alur maju, yang bila tidak diimbangi dengan latar atau suasana yang variatif, akan membuat cerita berpotensi membosankan sebab hanya akan membentuk suatu garis lurus. Sedangkan dengan teknik seperti ini, narator berhasil mencipta suatu“lingkaran yang bergerigi”, sebab latar akhir kembali ke latar awal, tapi dengan peristiwa yang berbeda, dan karena itu menimbulkan efek yang berbeda.

Dari segi pemilihan nama, tokoh utama, Istri Shan Keempat, membawa saya ke semacam “lorong” antar dimensi budaya, dan mengantar saya untuk bertanya, mengapa ia tidak disebut dengan nama aslinya, melainkan disebut sebagai istri dari si ini atau si itu yang sudah meninggal? Apakah bila si istri yang meninggal, si suami akan menyandang namanya? Sepertinya tidak, sebab China, sebagaimana yang kita tahu di masa-masa yang lalu-dan mungkin masih sampai sekarang?- dalam kaitannya dengan gender, sungguh patriarkal. Kata “keempat” dalam nama tersebut juga menimbulkan pertanyaan, apakah ibu tersebut adalah istri keempat?

Dalam cerita, ibu dari Pao-erh tersebut, ketika anaknya sakit, tidak langsung memutuskan pergi ke dokter, melainkan ke kelenteng. Kenapa ia perlu ke Dewa dulu baru ke dokter? Apakah karena ke Dewa tidak perlu membayar?

Ketika Pao-erh akhirnya meninggal, biaya yang diperlukan ternyata tidak berhenti selaras dengan berhentinya napas, tapi terus berlanjut. Ibunya perlu mengeluarkan uang untuk membakar kalung koin kertas, peti mati, juga untuk biaya makan orang yang bertamu, dan biaya untuk membawa anaknya dari rumah ke kuburan. Ia bukan hanya mengeluarkan uangnya, melainkan juga perlu menggadaikan barang-barang yang ada di rumahnya, serta berutang pada orang untuk “kebutuhan-kebutuhan” tersebut. Padahal,bila kita runut ke belakang, sang ibu cukup mampu membawa anaknya dari jarak yang tidak dekat dari rumahnya, ke dokter, ke penjual obat, dan kembali lagi ke rumahnya dengan sedikit dibantu oleh Ah-Wu, tanpa biaya. Kenapa orang miskin seperti dirinya harus memaksakan diri untuk membiayai upacara kematian? Apakah ia ingin membayar rasa bersalahnya kepada Pao-erh? Atau hanya mengikuti adat yang jelas-jelas tambah memiskinkannya?

Setelah ia mengantar Pao-erh sampai kuburan, berapa lama waktu yang ia perlukan untuk seratus persen berduka, dalam artian terus menerus menangis dan belum kembali normal, kembali bekerja memintal benang kapas? Berapa potensi pintalan benang kapas yang bisa ia hasilkan kalau saja ia tidak terpuruk dalam kesedihan dan Pao-erh tidak mati?

Berapa banyak opportunity cost2  yang ia lewatkan karena kehilangan? Kesempatan-kesempatan yang sebenarnya bisa ia manfaatkan bila ia memilih melakukan hal lain, bukan bersedih. Berapa fix costdan variable cost­4 yang telah ia keluarkan selama Pao-erh sakit dan kemudian mati? Sebagian rangkaian adat adalah fix cost bagi logika cerita ini, tapi bagi saya adalah variable cost, hal yang bisa ditekan bahkan tidak perlu ada kalau saja Istri Shan Keempat punya kebebasan untuk tidak melakukannya, atau masyarakat membebaskan seseorang untuk tak melakukannya.

Jadi, berapa opportunity cost, fix cost, dan variable cost untuk sebuah kehilangan? Bila perasaan kita tak bisa kita bendung, jawabannya adalah tidak terhingga ( ), sebab siapa yang bisa mengukur rasa kehilangan seseorang selain dirinya sendiri dan mengkonversinya ketika “menghormati yang sudah meninggal”? Dan orang yang kehilangan tapi tidak cukup punya “logika ekonomi” sering terjebak mengganti kehilangan dengan uang dan semua sumber daya yang ia punya, untuk membayar semua yang sudah tidak ada.***

 

Catatan:

1) Lu Hsun, The True Story of Ah Q, (penerjemah: Tri Wibowo Budi Santoso), Yogyakarta, 2020, DIVA Press, hal. 239-250.

2) Opportunity Cost : Kesempatan yang dilewatkan karena memilih melakukan hal lain. Dalam kasus ini, misalnya Istri Shan Keempat menangis selama enam bulan tanpa memintal benang kapas, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan uang selama enam bulan.

3) Fix Cost: Biaya tetap yang harus dikeluarkan.

4) Variable Cost: Biaya yang dikeluarkan tergantung pada keputusan konsumsi atau produksi yang dipilih.

 

——————————————————————————————————————————-

Biodata – Bulan Nurguna lahir di Mataram, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Ia menulis cerpen, puisi, dan esai. Karya-karyanya pernah terbit di Jawa Pos, kompas.id, Suara Merdeka, detik.com, bacapetra.co, cendananews.com, dan lain sebagainya. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit berjudul Satu Keluarga Telah Lengkap (Basabasi, 2022). Sedangkan kumpulan puisinya berjudul Menghabiskan Masa Kecil Bersama (Bukan) Manusia (Akarpohon, 2024). Kini ia mengelola kedai buku Klandestin dan Berlian Library.


 

Redaksi lombokraya.com menerima kiriman karya cerpen, puisi dan esai sastra. Kirimkan ke email: redaksilombokraya@gmail.com. Ruang sastra lombokraya.com tayang dua kali sepekan, yaitu hari Minggu dan Rabu (khusus karya pelajar Nusa Tenggara Barat). Untuk sementara karya yang dimuat belum ada imbalan honorarium.

 

 

Related posts