Gerbang Kabut dan Peta Rahasia

Oleh Rissa Churria

Di sebuah desa kecil bernama Lumora, yang tersembunyi di kaki gunung berkabut, hiduplah tiga bersaudara yang terkenal karena keberanian, kecerdasan, dan jiwa petualang mereka. Mira, sang kakak tertua berusia 15 tahun, memiliki kebijaksanaan jauh di atas usianya dan selalu berpikir sebelum bertindak. Arya, adik lelaki berusia 12 tahun, adalah sosok pemberani yang tidak pernah takut menghadapi tantangan. Sementara Nara, yang baru berusia 8 tahun, memiliki jiwa yang lembut, penuh rasa ingin tahu, meskipun pemalu.

Mereka tumbuh di desa yang damai, dikelilingi oleh cerita-cerita magis yang diceritakan dari generasi ke generasi. Meskipun hidup di desa yang sederhana sebagai anak petani, hati mereka selalu merindukan dunia yang lebih luas. Mereka sering bermain di hutan dekat desa, membayangkan diri mereka sebagai pahlawan dalam kisah-kisah legendaris. Namun, kehidupan biasa mereka berubah pada suatu malam, saat mereka menemukan sebuah peta tua yang disembunyikan di loteng rumah.

Di dalam kotak kayu tua yang berdebu, Mira menemukan peta usang yang dipenuhi simbol-simbol misterius. Di sudut peta, tertulis dalam bahasa kuno yang sedikit dimengerti Mira berkat pelajaran dari ibu mereka yang telah tiada. Peta itu tidak hanya sekadar menunjukkan jalan, melainkan sebuah petunjuk menuju tempat-tempat yang penuh rahasia: Negeri Para Penyihir dan Negeri Para Peri.

“Ini bukan sembarang peta,” kata Mira dengan mata berbinar-binar, mencoba menafsirkan tulisan di peta.

“Ini seperti … petunjuk menuju sesuatu yang besar, sesuatu yang belum pernah kita temui.” lanjutnya.

Arya, yang selalu haus akan petualangan, tidak bisa menahan kegembiraannya. “Kita harus pergi! Ini kesempatan kita untuk melihat dunia yang lebih besar, mungkin ada harta karun atau kekuatan magis yang bisa kita temukan!” teriaknya dengan antusiasme yang membara.

Nara, meskipun masih kecil, merasa ada sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat di balik peta ini.

“Apa kita bisa melakukannya? Bagaimana kalau bahaya?” tanyanya dengan suara pelan, matanya penuh kekhawatiran.

Mira merenung sejenak, menyadari risiko yang mungkin akan mereka hadapi. Namun, dorongan untuk mengungkap misteri di peta itu lebih kuat daripada rasa takut.

“Kita akan berhati-hati. Tapi jika ini adalah takdir kita, kita harus siap menghadapinya,” ujar Mira penuh keteguhan.

Keesokan paginya, sebelum fajar menyingsing, mereka meninggalkan desa Lumora. Dengan hanya bekal sederhana—roti, air, dan keju—mereka melangkah menuju arah yang ditunjukkan peta, menuju hutan yang lebih dalam. Tujuan mereka jelas: Gerbang Kabut, pintu menuju dunia magis yang tersembunyi di balik tabir kabut. Di sanalah Negeri Para Penyihir dimulai, menurut legenda.

Saat mereka semakin jauh masuk ke dalam hutan, atmosfer mulai berubah. Hutan yang tadinya terasa damai kini menjadi lebih gelap, dan suara burung serta hewan liar seakan hilang, digantikan oleh bisikan angin yang terdengar seperti suara dari dunia lain. Pohon-pohon di sekitar mereka terlihat semakin besar dan menyeramkan, seperti sosok-sosok hidup yang memperhatikan setiap gerakan mereka.

“Aku bisa merasakan sesuatu yang aneh di sini,” kata Mira, suaranya berbisik namun penuh perhatian.

Arya tetap berjalan di depan dengan keberanian, tapi tatapan matanya kini lebih waspada. Sementara Nara terus menggenggam tangan Mira, berusaha mengatasi rasa takutnya.

Setelah perjalanan panjang, mereka tiba di tepi sungai yang dikelilingi kabut tebal. Mereka terpaksa berhenti dan membuat perkemahan kecil. Malam itu, mereka tidak berani menyalakan api, khawatir menarik perhatian makhluk-makhluk yang mungkin bersembunyi di balik kabut.

Di tengah malam, Arya terbangun oleh suara gemerincing dari kejauhan. Matanya yang masih setengah mengantuk langsung terbuka lebar saat melihat kilatan cahaya biru di antara pepohonan. Dengan rasa penasaran yang mengalahkan rasa takut, Arya diam-diam berjalan menuju cahaya itu, pedang kayu kecil di tangannya.

Dia mengikuti cahaya itu hingga sampai di sebuah gerbang besar yang terbuat dari batu hitam. Gerbang itu dihiasi dengan simbol-simbol aneh yang sama seperti di peta mereka. Hatinya berdegup kencang saat menyadari bahwa inilah Gerbang Kabut yang diceritakan dalam legenda.

Namun, sebelum Arya sempat mendekat lebih jauh, gerbang itu tiba-tiba terbuka dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Dari balik gerbang, sosok bayangan besar muncul, dengan mata merah yang bersinar di tengah kegelapan. Tawa seram menggema di hutan, membuat Arya kaku di tempatnya.

Saat bayangan itu bergerak ke arahnya, Mira dan Nara tiba-tiba muncul dari balik kabut, memegang peta yang kini bersinar terang. Cahaya dari peta itu memancar kuat, membuat bayangan itu mundur sejenak, seperti takut akan kekuatan yang ada dalam peta tersebut.

“Kita tidak sendiri di sini,” bisik Mira, matanya penuh dengan ketakutan sekaligus keyakinan.

“Peta ini … melindungi kita.” lanjutnya.

Ketiganya berdiri bersama, merasakan kekuatan peta yang memancar di antara mereka. Gerbang di depan mereka kini terbuka lebar, menunjukkan jalan menuju Negeri Para Penyihir. Dunia yang misterius, penuh sihir, dan mungkin bahaya yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.

“Aku siap,” kata Arya sambil menggenggam erat pedangnya, kini tidak ada rasa ragu dalam suaranya.

Nara, meski masih takut, berdiri teguh di samping kakak-kakaknya. Mira menghela napas dalam-dalam, menyadari bahwa petualangan ini baru saja dimulai.

Dengan keberanian yang menyala dalam diri mereka, ketiga bersaudara itu melangkah melewati gerbang, menuju dunia baru yang akan menguji persaudaraan, keberanian, dan kecerdasan mereka lebih dari apa pun yang pernah mereka hadapi sebelumnya.

Mereka tidak tahu apa yang menanti di balik gerbang, tapi mereka tahu satu hal: mereka akan menghadapi semuanya bersama-sama.(*)

 


Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.

Related posts