Duel Para Raksasa

Setelah mengalahkan penjaga puncak di menara hitam, Mira, Arya, dan Nara melanjutkan perjalanan mereka. Mereka akhirnya tiba di sebuah pintu rahasia di puncak menara yang membuka jalan menuju dunia yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Di luar pintu itu, terbentang sebuah lembah luas yang terletak di antara dua gunung menjulang tinggi.

Namun, begitu mereka melangkah ke lembah itu, suasana berubah drastis. Angin dingin berembus kencang, dan suara gemuruh dari tanah terdengar di kejauhan. Suara itu terdengar seperti gempa bumi kecil, namun mereka tahu ini bukan gempa bumi biasa.

“Kalian dengar itu?” Tanya Arya, mengerutkan alisnya sambil melihat sekeliling.

Mira menggaruk menajamkan pendengarannya. “Suara langkah kaki. Sesuatu yang besar sedang mendekat.”

“Apakah kita harus lari? Atau titik-titik sembunyi?” Nara bersembunyi di belakang kakaknya, merasa gelisah.

Namun sebelum mereka bisa membuat keputusan, tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar semakin kuat. Dari Bali gunung dihadapan mereka, muncul sosok yang sangat besar. Raksasa setinggi pohon tertinggi yang pernah mereka lihat. Tubuhnya kokoh seperti batu, dengan kulit yang menyerupai Karang gelap dan mata berkilau merah menyala dia membawa gada besar di tangannya, yang setiap kali menghantam tanah, menciptakan gemuruh dahsyat.

“Itu … itu raksasa!” teriak Nara dengan bergetar.

Raksasa itu tertawa keras suaranya menggema di seluruh lembah. Suaranya yang nyaring terdengar mengerikan.

“Siapa kalian, manusia kecil, yang berani masuk ke wilayahku?” tanyanya dengan wajah bengis.

“Kami tidak ingin masalah, tapi kami tidak akan takut untuk melawan jika kau menghalangi jalan kami!” Arya langsung mengambil posisi bertahan pedangnya terangkat tinggi.

Raksasa itu mengerutkan kening dan mendekat dengan langkah beratnya, membuat tanah di sekitarnya bergetar.

“Berani sekali kalian, manusia kecil. Tapi kalian tidak akan keluar hidup-hidup dari lembah ini!” bentaknya_murka.

Mira cepat berpikir. Dia tahu bahwa melawan raksasa sebesar ini dengan kekuatan fisik akan menjadi kebodohan.

“Arya jangan gegabah! Kita harus mencari cara lain untuk menghadapi dia.” serunya menahan adiknya yang bersiap hendak bertindak.

Namun, sebelum raksasa itu bisa menyerang mereka, sebuah suara lain yang dalam dan lembut terdengar dari belakang mereka.

“Tunggu!”

Mira, Arya, dan Nara segera berbalik dan melihat sesuatu yang mengejutkan. Dari gunung yang lain muncul raksasa lain, tetapi kali ini berbeda. Raksasa ini memiliki kulit yang lebih cerah dan lembut seperti tanah liat yang dipahat. Matanya berwarna biru dan menyala lembut menandakan sifatnya yang lebih ramah. Dia tidak membawa senjata apapun, tetapi langkahnya tetap mengguncang tanah.

“Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti mereka Grum.” Raksasa kedua itu berdiri di antara mereka dan raksasa pertama.

“Tawuran! Kenapa kok selalu ikut campur dalam urusanku?! Ini wilayahku, dan aku akan lakukan apapun yang kau inginkan!” Raksasa jahat bernama Grum menatapnya dengan marah.

“Mereka hanyalah anak-anak yang mencari jalan mereka. Kau tidak punya hak untuk menyerang mereka.” Tawuran, raksasa baik itu menatap Grup dengan tegas.

Grum menyeringai, menampakan giginya yang besar dan kotor. “Kau selalu lemah tawuran. Kau pikir kata-katamu bisa menghentikan aku? “

“Kau mau membantu kami?” tanya Arya sembari maju selangkah, menghadap Tawuran dengan sedikit harapan.

Tawuran menunduk, menatap ketiga saudara itu dengan lembut. Anggukannya membuat ketiga saudara itu sedikit lega.

“Aku tahu tujuan kalian, dan aku tahu kalian tidak akan menyerah. Dunia ini memiliki banyak rahasia, tetapi kalian membutuhkan bantuan jika ingin bertahan.” katanya.

Grum tidak menunggu lebih lama. Dia mengangkat gadanya tinggi-tinggi, bersiap menghancurkan mereka semua.

“Kau begitu, aku akan menghancurkan kalian sekaligus!”

Dengan kecepatan yang tak terduga untuk tubuh besar itu, Tawuran, bergerak dan menahan gada Grum dengan kedua tangannya. Tanah bergetar saat dua raksasa itu bertarung. Gada besar Grum beradu dengan kekuatan tangan Tawuran, menciptakan suara gemuruh seperti petir.

“Lari sekarang!” teriak Tawuran kepada Mira, Arya, dan Nara.

“Aku akan mengalihkan perhatiannya!” perintahnya pada ketiga anak manusia itu.

Namun, Mira tahu mereka tidak bisa meninggalkan Tawuran sendirian melawan Grum yang begitu kuat.

“Tidak! Kita harus membantu dia!”

“Bagaimana kita bisa membantu melawan makhluk sebesar itu?” Arya melihat ke sekeliling, mencari cara untuk membantu.

“Kita bisa menjebaknya! Lihat tebing di atas sana! Jika kita bisa membuat batu-batu itu jatuh … kita bisa menjepit Grum! ” Nara yang selama ini diam karena takut, tiba-tiba bersuara dengan ide yang tak terduga.

Mira tertegun, tapi langsung menyadari bahwa itu adalah ide yang brilian. “Nara, kalau benar!”

Arya segera bergerak berlari ke sisi tebing, diikuti oleh Mira dan Nara. Mereka menemukan beberapa batu besar di puncak tebing yang tampak rapuh. Jika mereka bisa menggoyangkan batu itu mereka mungkin bisa menimbulkan longsor yang cukup besar untuk menjatuhkan grum.

Sementara itu, tawuran berjuang keras melawan Grum. Meskipun kuat, tawuran tawuran terus terdesak oleh gada Grum yang sangat berat namun, ia terus bertahan, memberi cukup waktu untuk ketiga saudara itu merencanakan serangan mereka.

“Ayo, bantu aku!” Seru Arya, mencoba mendorong batu besar itu. Mira dan Nara segera bergabung, menggunakan seluruh tenaga mereka untuk mendorongnya.

Dengan satu dorongan terakhir, batu besar itu mulai bergulir menuruni tebing. Suaranya menggema di seluruh lembah saat batu itu terguling dengan kecepatan yang semakin meningkat. Longsoran batu kecil lainnya ikut terseret, menciptakan hujan batu yang menuju tempat tepat ke arah Grum.

Grum terlalu sibuk bertarung dengan Tawuran untuk menyadari bahaya yang dating. Saat batu pertama menghantamnya di bahu, Dia tersentak, kehilangan keseimbangan. Batu berikutnya menghantam kakinya, dan dengan raungan marah, dia terjatuh ke tanah dengan keras.

Gada besar Grum terlepas dari tangannya, dan dia tidak mampu bergerak karena batu-batu besar yang menimpa tubuhnya.

“Tidak!!” teriaknya putus asa.

Tawuran berdiri, mengatur napasnya yang berat. Dia menatap ketika saudara itu dengan kagum. “Kalian berhasil.”

Mira, Arya, dan Nara berdiri terengah-engah, tetapi dengan perasaan lega. Mereka telah berhasil menjatuhkan raksasa jahat itu.

“Ini belum berakhir … Suatu hari aku akan membalas dendam!” Grum, yang terperangkap di bawah batu, menatap mereka dengan mata penuh kebencian.

“Kau sudah kalah, Grum. Dunia ini tidak membutuhkan lebih banyak kekerasan.” Tawuran menggelengkan kepalanya.

“Kalian telah membuktikan keberanian kalian. Kalian memiliki hati yang kuat, dan itu akan membawa kalian lebih jauh dari yang kalian bayangkan.” lanjut Tawuran sambil melangkah mendekati ketiga saudara itu.

Mira tersenyum, meskipun masih merasa sedikit ketakutan. “Terima kasih, Tawuran. Kami tidak akan berhasil tanpa bantuanmu.”

Tawuran mengangguk. “Perjalanan kalian belum selesai. Di balik lembah ini, pada pintu menuju negeri para penyihir. Berhati-hatilah, karena di sana kalian akan menghadapi tantangan yang lebih besar lagi.”

Dengan kata perpisahan itu Tawuran menghilang ke dalam hutan, meninggalkan Mira, Arya, dan Nara untuk melanjutkan perjalanan mereka.(*)


Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.

Related posts